Daán yahya/Republika
Oleh: Hasanul Rizqa
Dalam sejarah Khulafaur Rasyidin, pemerintahan Umar bin Khattab berlangsung selama 10 tahun. Penerus Abu Bakar ash-Shiddiq itu memerintah dengan selalu menegakkan prinsip-prinsip amanah dan keadilan, berdasarkan Alquran dan Sunnah. Sang amirul mukminin juga berjasa dalam memperluas wilayah daulah Islam hingga ke luar Jazirah Arab, termasuk Baitul Makdis dan Persia.
Umar bin Khattab wafat pada tahun ke-23 Hijriyah, tepatnya pada tanggal 26 Dzulhijjah. Sahabat yang berjulukan al-Faruq itu meninggal dunia beberapa hari usai ditusuk seorang Persia saat sedang memimpin shalat. Si penusuk bernama Abu Lulu'a bin Mughirah bin Shubah, seorang Persia kafir yang baru datang di Madinah usai takluknya Sasaniyah.
Sebelum menghembuskan nafas terakhir, Umar sempat mengumpulkan sejumlah sahabat guna membahas suksesi kepemimpinan. “Seandainya Abu Ubaidillah bin al-Jarrah masih hidup,” katanya, “maka jabatan khalifah akan saya serahkan kepadanya. Sebab ia sudah meninggal, saya pun tidak bisa menunjuk seseorang.” Ia pun meminta enam sahabat Nabi SAW untuk menjadi inti tim formatur. Putranya, yakni Abdullah bin Umar, turut serta dalam panitia tersebut, tetapi al-Faruq melarangnya untuk dipilih sebagai khalifah. “Dari Bani Adi, cukup saya saja yang menjadi pemimpin,” ucapnya.
Keenam sahabat Rasul SAW yang dimaksud adalah Ali bin Abi Thalib, Utsman bin Affan, Abdurrahman bin Auf, Sa’ad bin Abi Waqqash, Zubair bin Awwam, dan Thalhah bin Ubaidillah. Selama empat hari, Umar menginstruksikan, mereka sudah harus menghasilkan keputusan mengenai pengganti khalifah. Kalau belum, ketua tim itu segera mengambil kebijaksanaan. “Siapapun yang tidak menyetujui keputusan yang sudah disepakati, maka bunuhlah ia,” tegas al-Faruq.
Musyawarah tim itu pun berjalan cukup alot. Seperti dituturkan Said Aqil Siradj dalam buku Aswaja Dalam Lintas Sejarah, ada indikasi bahwa faktor kabilah menjadi cukup penting. Zubair tidak bisa maju karena masih ada Ali bin Abi Thalib yang sama-sama berasal dari Bani Hasyim. Adapun Sa’ad bin Abi Waqqash memiliki tipis peluang karena berasal dari Bani Zahrah, suatu kabilah yang tidak begitu berwibawa dan prestise besar. Thalhah otomatis tidak bisa menjadi khalifah karena berasal dari Bani Adi, sama dengan Umar.
Maka, calon-calon terkuat adalah Ali bin Abi Thalib dari Bani Hasyim, Utsman bin Affan dari Bani Umayyah, dan Abdurrahman bin Auf dari Bani Zuhrah. Namun, pada akhirnya toh Abdurrahman tidak mungkin maju karena kedua nama tersebut lebih senior daripada dirinya. Alhasil, tersisa dua kandidat saja, yakni Ali dan Utsman.
Bahkan, pada akhirnya peran kunci dipegang Abdurrahman bin Auf. Dialah yang kemudian melobi secara ketat kedua sahabat Nabi SAW tersebut. Kemudian, datanglah dirinya menemui Ali dan bertanya, “Seandainya engkau tidak termasuk orang yang dicalonkan, siapa yang engkau pilih?” Ali menjawab, “Usman.”
Berikutnya, Abdurrahman menemui Utsman dan bertanya, “Seandainya engkau tidak termasuk orang yang dicalonkan, siapa yang engkau pilih?” Utsman menjawab, “Ali.” Karena keduanya sama-sama kuat, akhirnya Abdurrahman menetapkan Utsman sebagai khalifah. Said Aqil mencatat, bila ditelusuri, ada relasi antara keduanya. Ummi Kultsum, yakni istri Abdurrahman, adalah saudara seibu dengan Utsman bin Affan.
DOK WIKIPEDIA
Menjadi khalifah
Seperti dirangkum dari buku Lisan al-Mizan: Utsman bin al-Affan, Utsman bin Affan dibaiat untuk menjadi khalifah sesudah wafatnya Umar bin Khattab. Semua Muslimin melakukan baiat itu, termasuk Ali bin Abi Thalib. Utsman pun menjadi amirul mukminin ketiga dalam era Khulafaur Rasyidin. Ia berkuasa antara tahun 644 hingga 656 Masehi.
Semasa kepemimpinanya, kaum Muslimin berada pada awal zaman perubahan. Ini seturut dengan pesatnya perputaran dan percepatan pertumbuhan ekonomi. Tumbuhnya kesejahteraan umat pun berbanding lurus dengan perluasan wilayah daulah Islam.
Hal terpenting lainnya yang dilakukan pemerintahan Utsman bin Affan adalah pembukuan Alquran. Seperti dinukil dari buku Kepemimpinan dan Keteladanan Utsman bin Affan karya Fariq Gasim Anuz, menantu Nabi Muhammad SAW itu membentuk tim ahli untuk menyusun penulisan Kitabullah. Sang Dzun Nurain—julukannya yang berarti ‘pemilik dua cahaya’—mengutus seseorang kepada Ummul Mukminin Hafshah binti Umar bin Khathab. Ia meminta sebuah mushaf Alquran yang dibukukan pada zaman Abu Bakar lalu.
Tim penulis pun menjadikan mushaf tersebut sebagai acuan dalam menjalankan tugas mereka. Kemudian, mereka menulis ulang berdasarkan perintah Utsman atau yang dikenal dengan sebutan Mushaf Utsmani.
Lisan al-Mizan juga mengisahkan bahwa Utsman mengalami dinamika hebat menjelang dekade akhir masa pemerintahannya. Yang paling besar adalah munculnya pemberontakan yang dilakukan orang-orang luar Madinah. Para pemberontak menuding sang amirul mukminin telah berbuat nepotisme.
Utsman syahid setelah mereka mengepung kediamannya. Saat dirinya sedang membaca Alquran dan berpuasa, pedang dari para pemberontak menusuk tubuhnya. Jarinya terputus. Ia wafat dalam usia 80 tahun.
Akhir masa Utsman
Ada beberapa kelompok yang tidak puas dengan kepemimpinan Khalifah Utsman bin Affan. Mereka ini datang dati Mesir, Kufah, dan Bashrah.
Ketiga kelompok ini berlainan kehendak dan tujuannya. Kelompok dari Bashrah hendak menurunkan Utsman dan menggantikannya dengan Thalhah, kelompok dari Kufah hendak menggantinya dengan Az-Zubair, dan kelompok dari Mesir hendak menggantinya dengan Ali bin Abi Thalib.
Yang datang dari Basrah datang ke Madinah lalu ke rumah Thalhah, yang datang dari Kufah ke rumah Az-Zubair, dan yang dari Mesir ke rumah Ali.
Ketiga kelompok itu menawarkan khalifah kepada diri mereka masing-masing. Namun, ketiganya menolak dengan sikap yang hormat.
Mereka bertiga tidak hendak meruntuhkan khalifah, tapi seide hendak memperbaiki kebijakan-kebijakan yang dipandang kurang tepat. Orang Mesir meminta supaya wali di Mesir yang diangkat oleh Utsman diturunkan dari jabatannya, diganti dengan Muhammad bin Abu Bakar.
Permintaan itu telah dikabulkan dan mereka disuruh pulang kembali ke Mesir. Tetapi setelah sampai pada suatu tempat, jarak tiga hari perjalanan dari Madinah, kelihatan dari jauh seorang budak mengendarai unta. Orang itu kemudian dihentikan lajunya dan ditanya hendak ke mana dan siapa yang memberi perintah.
Budak itu menjawab bahwa dia budak Amirul Mukminin Utsman bin Affan, disuruh mengantarkan sepucuk surat ke Mesir. Pasukan Muhammad bin Abu Bakar menjadi kaget, kantong surat itu kemudian dirampas.
Rupanya surat itu dari Utsman kepada Abdullah bin Abu Sarah, wali di Mesir. Sampul itu terus dibuka di hadapan Muhajirin dan Ansar, dan isinya adalah:
Bila sampai Muhammad bin Abu Bakar di Mesir, bersama si fulan dan si fulan, hendaklah terus dibunuh, dan isi surat yang mereka bawa hendaklah dibatalkan, dan hendaklah terus memegang jabatan itu sehingga sampai perintahku yang sah.
Melihat isi surat yang sangat berbahaya itu, semua gentar. Dan, semua anggota kelompok itu memutuskan bahwa mereka harus kembali ke Madinah.
Sampai di Madinah, mereka minta bertemu berhadap-hadapan dengan Ali, Thalhah, Az-Zubair, dan Sa'ad. Di hadapan mereka itulah surat itu dibuka kembali dan diceritakan kisah penangkapan budak itu sejelas-jelasnya.
Demi setelah tersiar kabar ini kepada orang banyak, semuanya mencaci dan memaki Utsman. Utsman dituduh sebagai khalifah pengecut.
Sahabat-sahabat Nabi yang utama melihat huru-hara ini, karena tak bisa didamaikan lagi, kembali ke rumah masing-masing dengan perasaan bingung.
Rumah Utsman dikepung orang dari segala penjuru. Bahkan, air tidak boleh dimasukkan ke rumahnya lagi dan dilarang keluar.
Waktu itulah dengan sedih terdengar perkataan Utsman, "Mengapa kamu menahan air dari orang yang telah pernah membeli sumur?"
Surat itu terus mereka bawa kepada Utsman, seraya mereka berkata, "Engkau telah menulis surat begini terhadap kami?"
Utsman menjawab, "Salah satu di antara dua boleh kamu pilih, pertama kalau tak percaya, kami kirim dua utusan utnuk menyelidiki, kedua kamu terima sumpah saya di hadapan Allah, bahwa sungguh-sungguh bukan saya yang menulis surat itu"
Dengan sumpah besar Utsman telah menyatakan bahwa surat itu bukanlah dia yang menulis, walaupun di sana terdapat cap stempel cincinnya sendiri.
Menurut Prof Buya Hamka dalam buku Sejarah Umat Islam, pengakuan Utsman itu harus dipercaya. Sebab, selama ini memang Utsman terkenal sebagai orang yang bertanggung jawab atas perbuatannya.
Yang selalu menjadi perbincangan dalam sejarah, perkara ini adalah juru surat Utsman sendiri yaitu Marwan bin Al Hakam, tetapi bukti pun tidak jelas juga. Sehingga, sampai kiamat riwayat itu akan tetap begitu keadaannya, tidak jelas.
Cuma yang nyata di sana, memang Utsman kurang memperhatikan laci mejanya sendiri. Sehingga, laci itu bisa dibuka orang dan cincinnya bisa dicapkan orang tanpa sepengetahuannya. Dan, dia terpaksa menanggung dampak dari kejadian ini.
Sementara, orang semakin panas. Sebagian besar meminta supaya dia mengundurkan diri sebagai khalifah. Tetapi Utsman menolak.
Dia tak mau menanggalkan jabatan yang diletakkan Allah ke atas pundaknya dan disetujui oleh seluruh kaum Muslimin dengan ba'iat, sampai nyawa terpisah dari badannya, jabatan itu tak akan diserahkan ke orang lain.
Desakan dan kepungan bertambah hebat. Segala nasihat yang diberikan Utsman dari atas rumahnya, kepada orang-orang yang berkumpul dengan hati panas itu, tidak mempan. Apalagi setelah terdengar berita dan bisik desas-desus bahwa ada beberapa tentara dari Syam akan mengepung Madinah dan melepaskan Utsman dari kepungan itu.
Sahabat-sahabat Nabi yang utama yaitu Ali, Thalhah, Az-Zubair, menyuruh anak-anak mereka masing-masing pergi menjaga khalifah di dalam rumahnya sampai menunggu huru-hara ini selesai. Jangan sampai terjadi bahaya yang lebih besar.
Tetapi para pemberontak itu sudah bertambah kalap, rumah di samping rumah Utsman kepunyaan tetangga, telah mereka naiki. Pintu rumah mereka bakar, mereka masuk ke dalam berduyun-duyun dengan sorak-sorainya.
Anak-anak orang besar Madinah itu tersingkir ke tepi. Seorang pemberontak bernama Al Ghafiqi telah menikam Utsman, orang tua yang telah ikut menegakkan Islam sejak awal dengan pisaunya.
Jari istri Utsman yang bernama Na'ilah, yang hendak membela suaminya itu, mereka potong. Setelah itu mereka tarik jenggot Utsman dan mereka membunuhnya. Sehingga, wafatlah Utsman, sedangkan ALquran bernama Mushaf Ustman itu masih tergenggam di dalam tangannya.
Peristiwa ini terjadi pada tahun 35 Hijriah, yakni setelah 11 tahun lamanya Utsman memerintah.
DOK WIKIPEDIA
Pada 644 M atau 24 Hijriyah, Khalifah Umar wafat setelah ditusuk seorang budak Persia. Sosok penggantinya adalah Utsman bin Affan. Pada mulanya, kepemimpinan sahabat yang berjulukan Dzun Nurrain itu tidak banyak menimbulkan polemik. Akan tetapi, akhirnya muncul kelompok-kelompok di luar Madinah yang merasa tidak puas terhadap pemerintahannya.
Malapetaka terjadi sekira 12 tahun sejak Khalifah Utsman menjabat. Segerombolan orang menyerbu Madinah dengan tujuan menyerang sang khalifah. Mereka datang dari pelbagai daerah, termasuk Basrah. Pada 17 Juni pada 656 M atau 18 Dzulhijjah 36 H, para pemberontak ini dapat merangsek rumah sasarannya. Sang menantu Nabi Muhammad SAW itu pun gugur sebagai syuhada.
Peristiwa terbunuhnya Utsman menjadi spiral yang menimbulkan masalah-masalah besar di kemudian hari. Khalifah keempat, Ali bin Abi Thalib, berjuang ekstra keras untuk meneguhkan stabilitas politik di seluruh wilayah Islam. Ia mendapatkan pertentangan dari ‘Aisyah binti Abu Bakar dan, selanjutnya, Mu’wiyah bin Abi Sufyan.
‘Aisyah sangat terpukul dengan terbunuhnya Utsman sehingga menuntut agar pembunuh Dzun Nurrain segera diadili. Sementara, Ali pun dalam posisi sulit. Sepupu Nabi SAW itu sesungguhnya enggan diangkat menjadi amirul mukminin setelah wafatnya Utsman. Namun, keadaannya dilematis. Kalaupun mundur, ia juga tidak bisa. Sebab, mayoritas Muslimin mendesaknya agar bersedia dibaiat demi situasi kondusif Madinah. Akhirnya, ia setuju memikul beban berat itu.
Ali tidak mau menyerahkan para perusuh yang telah membunuh Utsman, mengingat jumlah mereka ribuan orang. ‘Aisyah menganggap penolakan ini sebagai alasan untuk menentang Ali. Sang ummul mu`minin didukung sejumlah sahabat, termasuk Zubair bin Awwam. Dengan diiringi pendukungnya, ‘Aisyah lalu pindah ke Basrah, Irak, guna menggalang kekuatan.
Ali lantas memimpin sejumlah pasukan ke kota itu. Ada dua sumber tentang permulaan perang terbuka. Pertama, peranan Abdullah bin Saba—pendiri Syiah. Waktu itu, dialog terus dilakukan antara pihak Ali dan ‘Aisyah. Namun, di tengah kegelapan malam Ibnu Saba menyerang pengikut ‘Aisyah. Simpatisan ‘Aisyah mengira, kubu Ali memulai keributan. Sementara, Ali sendiri mendapatkan berita dari pengikut Ibnu Saba, simpatisan ‘Aisyah telah menyerbu secara tiba-tiba.
Sumber kedua dituturkan Ali Audah dalam biografi Ali bin Abi Thalib (2016) karya Ali Audah. Saat berjumpa, Ibnu Abi Thalib mengingatkan Zubair, “Ingatkah Anda ketika Rasulullah berkata kepada Anda, engkau akan memerangi aku (Ali) dengan cara yang tak adil?” Mendengar hadis itu, Zubair tersadar. Ia lantas kembali ke ‘Aisyah dan menyatakan mundur.
Awalnya, para pengikut ‘Aisyah hendak meletakkan senjata. Namun, tiba-tiba seorang pengikut Ali meregang nyawa akibat terkena lesatan anak panah. Ali sempat menyeru para pengikutnya agar tak membalas. Namun, mereka kian tak sabar.
Kontak senjata pun tak terelakkan. Saat keributan mereda, ‘Aisyah keluar dari tendanya. Ia diusung dalam sebuah pelangkin berlapis besi yang diletakkan di atas unta besar berselimut kain kulit harimau. Itulah mengapa pertempuran di Basrah ini dinamakan Perang Unta.
Melihat ‘Aisyah diusung, Ali berteriak agar seseorang menebas kaki belakang unta tersebut. Sebab kalau tidak begitu, pertempuran tidak akan benar-benar berhenti. Beberapa hari kemudian, ‘Aisyah dikawal untuk pulang ke Madinah. Baik Ali maupun ‘Aisyah sama-sama menyesalkan keterlibatan mereka dalam Perang Unta.
Ekstremnya Khawarij
Kira-kira setahun sesudah Perang Unta, Khalifah Ali terpaksa menghadapi Mu’awiyah bin Abi Sufyan dalam Perang Siffin. Resminya, Mu’awiyah merupakan gubernur Syam (Suriah) saat itu, tetapi pengaruhnya di kawasan luar Arab hampir-hampir menyamai sang khalifah. Gubernur tersebut juga menuding Ali tidak pernah berniat mengadili para pembunuh Utsman. Karena itu, sosok yang akhirnya mendirikan Dinasti Umayyah tersebut memerangi kubu Ali.
Perang Siffin dicoba diselesaikan dengan damai, yakni jalan arbitrase (tahkim). Cara itu sesungguhnya biasa dipakai pada zaman Jahiliyah. Segolongan tentara Ali kemudian tidak setuju dengan langkah tersebut, apalagi setelah mengetahui kubu sang khalifah diperdaya dalam arbitrase. Tidak puas dengan keadaan itu, mereka pun meninggalkan kepemimpinan Ali dan membentuk kekuatan sendiri.
Kelompok inilah yang akhirnya terkenal dengan sebutan kaum Khawarij. Menurut Prof Harun Nasution dalam buku Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran (1995), nama khawarij berasal dari kata kharaja yang berarti ‘keluar.’ Maknanya, mereka adalah yang telah keluar dari barisan Ali bin Abi Thalib.
Kaum khawarij tidak hanya mempersoalkan urusan politik kepemimpinan, tetapi sangat lebih jauh lagi, yakni keislaman dan keimanan. Mereka menjadikan tafsirnya sendiri atas surah al-Maidah ayat 44 sebagai pegangan. Kalimat terakhir dari firman Allah itu berarti, “Barangsiapa tidak memutuskan dengan apa yang diturunkan Allah (bi maa anzalallahu), maka mereka itulah orang-orang kafir.”
Menurutnya, baik Ali maupun Mu’awiyah justru mengikuti tradisi Jahiliyah, yakni tahkim, bukan kepada bi maa anzalallahu. Dalam pandangan Khawarij, kedua orang itu telah berbuat dosa besar sehingga menjadi kafir. Karena telah murtad, darahnya pun dinilai halal untuk ditumpahkan.
Ekstremis Khawarij yang dipimpin Abdullah bin Wahab ar-Rasibi merencanakan pembunuhan terhadap Ali dan Muawiyah. Sang gubernur Syam lolos. Tidak demikian halnya dengan Ali. Ayahanda Hasan dan Husain itu syahid dibunuh saat sedang memimpin shalat subuh di Masjid Kufah.
DOK WIKIPEDIA
Aliran lain: Mu’tazilah
Sepeninggalan Ali, kaum Khawarij semakin membabi-buta. Mulanya, mereka “hanya” menstampel siapapun Muslim yang telah melakukan dosa besar sebagai kafir. Belakangan, anggapannya menjadi lebih ekstrem. Yang mereka akui sebagai orang Islam hanyalah orang Islam yang menganut ajaran-ajaran Khawarij. Di luar itu, mereka merasa wajib untuk memeranginya.
Harun menuturkan, sebagai reaksi terhadap pandangan Khawarij, maka muncul golongan Murji’ah. Kalau menurut kaum Khawarij, perbuatan dosa besar dapat menghilangkan iman dalam hati sehingga pelakunya layak dicap sebagai orang kafir. Sementara, dalam pendapat kaum Murji’ah, yang penting dalam soal iman dan kufur ialah pengakuan dalam hati, bukan perbuatan empiris. Perbuatan tidak berpengaruh apa-apa atas iman.
Inilah mengapa kelompok tersebut dinamakan murji’ah karena mereka menunda masalah penghakiman hingga Hari Akhir. Kata arja’a yang menjadi asal dari murji’ah mengandung arti ‘menunda’ atau ‘memberi harapan.’ Baginya, biarlah nanti Allah yang memutuskan nasib akhir seorang atau para Muslim pendosa besar. Kalau diampuni-Nya, pendosa itu akan masuk surga. Kalau tidak diampuni, pendosa akan dihukum terlebih dahulu di neraka sesuai kadar dosa yang telah diperbuatnya. Begitu sudah selesai dengan siksa neraka, tempat kembalinya adalah surga.
Harun mengatakan, masalah dosa besar dan status keimanan/kekufuran pembuat dosa besar hangat diperbincangkan pada abad pertama Hijriyah, terutama sesudah kemunculan Khawarij dan Murji’ah. Banyak pertanyaan diajukan kepada para pendakwah mengenai persoalan tersebut. Basrah sebagai salah satu kota dengan geliat keilmuan pada waktu itu pun larut dalam tren demikian. Di sana, ada seorang ulama besar yang menjadi tempat orang-orang bertanya dan memetik hikmah. Dialah Hasan al-Bashri (642-748 M).
Suatu hari, dalam majelisnya Hasan al-Bashri membahas tentang iman dan dosa besar. Sebelum sempat menjawab pertanyaan dari salah satu hadirin, seseorang yang bernama Washil bin ‘Atha’ (699-748 M) menyela sambil berseru, “Pelaku dosa besar tidak mukmin dan tidak kafir.” Sesudah itu, Washil keluar meninggalkan majelis tersebut untuk membentuk kelompok sendiri. Lelaki inilah yang akhirnya dikenang sebagai pemuka pertama aliran Mu’tazilah.
DOK WIKIPEDIA
Umat pasca-Ali
Ketika Khalifah Ali bin Abi Thalib terbunuh, kaum Muslimin sempat mengangkat putranya, Hasan bin Ali. Namun melihat keadaan yang tidak menentu, setelah tiga bulan, akhirnya Hasan mengundurkan diri dan menyerahkan jabatan khalifah kepada Muawiyah bin Abi Sufyan.
Serah terima jabatan itu berlangsung di kota Kufah. Tahun inilah yang dalam sejarah dikenal dengan Amul Jama’ah (Tahun Kesatuan). Dengan demikian, Muawiyah resmi menjadi khalifah.
Beberapa kalangan ada yang menyebut Muawiyah dengan julukan yang jauh dari akhlak islami. Padahal walau bagaimanapun dia tetap sahabat Rasulullah, yang telah banyak memberikan sumbangan untuk Islam.
Dia ikut di berbagai peperangan, baik di masa Rasuullah atau Khulafaur Rasyidin.
Mengenai tudingan yang menjelekkannya, tidak semuanya bisa diterima begitu saja. Semua itu tidak mengurangi keutamaan Muawiyah sebagai seorang sahabat, bahkan masih terbilang keluarga dekat Rasulullah SAW.
Muawiyah dikenal sebagai negarawan dan politikus ulung. Ungkapannya tentang hal ini dicatat sejarah, “Aku tidak akan menggunakan pedangku selagi cambukku sudah cukup. Aku tidak akan menggunakan cambukku selagi lisanku masih bisa mengatasinya. Jika ada rambut yang membentang antara diriku dan penentangku, maka rambut itu tidak akan putus selamanya. Jika mereka mengulurkannya, maka aku akan menariknya. Jika mereka menariknya, maka aku akan mengulurnya.”
Dia mempunyai kemampuan diplomasi yang sangat tinggi sehingga Nicholsan dalam bukunya Literaty History of The Arabs menulis, “Muawiyah adalah seorang diplomat yang cakap dibanding dengan Richelieu, politikus Prancis yang terkenal itu.” Lebih tepat lagi ia memisalkan Muawiyah dengan Oliver Cromwell, seorang politikus dan protektor Inggris yang termasyhur, yang pernah membubarkan parlemen.
Dalam menjalankan pemerintahannya, Muawiyah mengubah kebijaksanaan pendahulunya. Kalau pada masa empat khalifah sebelumnya, pengangkatan khalifah dilakukan dengan cara pemilihan, maka Muawiyah mengubah kebijakan itu dengan cara turun-temurun. Karenanya, khalifah penggantinya adalah Yazid bin Muawiyah, putranya sendiri.
top